Subscribe Us

header ads

WFO & Efek Recency dalam Pikiran Bawah Sadar

 

Ilustrasi : mediability.it

Sebagai seorang trainer dan profesional hipnoterapi di Griya Hipnoterapi MPC, saya sering menemukan bahwa belajar hipnoterapi bukan sekadar memahami teori, tetapi juga tentang bagaimana kita menghubungkan konsep dengan realitas. Seiring berkembangnya komunitas alumni, saya semakin menyadari betapa pentingnya ruang diskusi dalam memperdalam pemahaman.

Beberapa waktu lalu, dalam sesi Kelompok Belajar (Pokjar) Advanced Hypnotherapy Maret 2025, salah satu alumni, Mukhibudin T., mengajukan pertanyaan menarik yang membawa kami ke dalam eksplorasi lebih dalam tentang cara kerja pikiran bawah sadar dan bagaimana menyusun outcome yang efektif dalam terapi.

Dia bertanya, "Guru... mau diskusi WFO point 1 🤭, ‘Saya ingin merasa tenang dan percaya diri.’ Apakah di unconscious mind kata-kata terakhir yang paling sering direkam? Seperti anak-anak yang diberi dua pilihan, maka mereka cenderung memilih yang terakhir, meskipun urutannya diubah. Apakah hanya kata terakhir yang terekam di bawah sadar, Guru?"

Saya tersenyum membaca pertanyaannya. Ini adalah jenis pertanyaan yang saya suka—bukan hanya karena menarik, tetapi karena ini menunjukkan pemikiran kritis dan pemahaman yang semakin dalam dari para peserta. Pertanyaan seperti ini adalah tanda bahwa ilmu yang diajarkan sedang benar-benar diproses dan dicari hubungannya dengan fenomena sehari-hari.

Dalam hipnoterapi, ada konsep yang dikenal sebagai Well-Formed Outcome (WFO), yang salah satu prinsipnya adalah menyatakan tujuan dalam bentuk kalimat positif. Jika seseorang berkata, "Saya tidak ingin cemas," maka yang tertangkap oleh pikiran bawah sadar adalah justru kata cemas. Sebaliknya, jika seseorang berkata, "Saya ingin merasa tenang dan percaya diri," maka fokus pikiran akan tertuju pada tenang dan percaya diri.

Lalu, apakah kata terakhir dalam sebuah kalimat lebih kuat direkam oleh pikiran bawah sadar?

Jawabannya adalah tidak sesederhana itu.

Pikiran bawah sadar tidak hanya bekerja dengan merekam kata terakhir dalam sebuah kalimat, tetapi lebih kepada bagaimana makna dan emosi yang terkandung dalam kalimat itu diproses. Jika seseorang berkata, "Saya tidak mau marah lagi," maka yang tertangkap bukan hanya kata marah, tetapi juga seluruh emosi dan pengalaman yang berhubungan dengan kemarahan. Itu sebabnya dalam hipnoterapi, kita selalu menekankan penyusunan outcome yang positif agar klien bisa membangun asosiasi baru yang lebih sehat.

Namun, pertanyaan Mukhibudin ini kemudian berkembang ke fenomena lain, yakni bagaimana anak-anak sering memilih pilihan terakhir saat diberikan dua opsi. Ini bukan lagi soal hipnoterapi, melainkan masuk ke ranah psikologi kognitif, yang dikenal dengan konsep Primacy & Recency Effect.

Dalam banyak penelitian, ditemukan bahwa seseorang lebih cenderung mengingat informasi pertama (primacy effect) atau informasi terakhir (recency effect) dalam sebuah daftar. Pada anak-anak, efek recency sering lebih dominan, karena informasi terakhir yang mereka dengar masih segar di ingatan mereka. Ini juga yang menyebabkan seorang anak ketika diberi pilihan, sering kali memilih opsi yang disebutkan terakhir, terutama jika tidak ada penegasan pada pilihan pertama.

Saya menjelaskan kepada Mukhibudin dan teman-teman di grup bahwa WFO dan Recency Effect adalah dua hal yang berbeda.

Dalam hipnoterapi, kita tidak memberikan dua pilihan seperti pada eksperimen psikologi anak-anak. Kita hanya mengarahkan klien untuk menyatakan tujuan mereka dengan bahasa yang lebih konstruktif, agar pikiran bawah sadar memproses makna dan emosi yang tepat untuk mencapai hasil yang diinginkan.

Namun, apakah pemahaman tentang Recency Effect tidak ada gunanya dalam hipnoterapi? Justru sebaliknya. Dalam pemberian sugesti, kita sering menggunakan pengulangan dan penegasan, misalnya:

"Mulai sekarang, Anda akan merasa lebih tenang... dan semakin percaya diri setiap harinya."

Dengan menempatkan dua konsep dalam satu sugesti, klien bisa lebih mudah menerima perubahan secara bertahap.

Diskusi ini kemudian semakin berkembang, dari bagaimana cara menyusun outcome yang efektif, hingga bagaimana kita bisa memanfaatkan pemahaman tentang Recency Effect dalam komunikasi sehari-hari. Saya bahkan berbagi tips sederhana untuk orang tua yang ingin memengaruhi keputusan anaknya, misalnya dengan menyebutkan opsi yang diinginkan terakhir dengan sedikit penegasan:

"Mau es krim atau permen? Es krim enak, loh!"

Teman-teman di Pokjar tertawa, karena ternyata strategi sederhana ini cukup efektif dalam praktik sehari-hari.

Bagi saya, momen seperti ini adalah esensi dari pembelajaran yang sebenarnya. Hipnoterapi bukan sekadar menghafal teknik atau memahami teori, tetapi bagaimana kita bisa menghubungkan konsep-konsep itu dengan fenomena yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari.

Diskusi seperti ini membuktikan bahwa belajar hipnoterapi tidak berhenti di kelas. Itulah mengapa saya dan tim menghadirkan Ruang Advanced, portal informasi dan pembelajaran online bagi alumni, agar mereka bisa terus belajar, berdiskusi, dan mengeksplorasi lebih jauh.

Saya selalu percaya bahwa seorang hipnoterapis yang baik bukan hanya mereka yang menguasai teknik, tetapi juga mereka yang terus berpikir, bertanya, dan mencari pemahaman yang lebih dalam.

Terima kasih, Mukhibudin, dan semua teman-teman di Pokjar Advanced Maret 2025. Diskusi ini bukan hanya memberikan wawasan baru untuk kalian, tetapi juga bagi saya sebagai seorang trainer.

Karena dalam perjalanan belajar, kita semua adalah murid, dan kita semua adalah guru.